3.31.2015

UPACARA PERKAWINAN DI KAMPUNG DOROMENA


Foto bersama Mahasiswa/i KKL Uncen PBS-BE Angkatan 2010 dengan siswa/i SD-SMP satu atap Doromena



Kampung Doromena merupakan salah satu kampung yang terletak di distrik Depapre. Kampung yang terletak di ujung Timur Jayapura ini begitu kaya akan hasil alam dan pesona alamnya. Tak hanya itu, kampung ini pun kaya akan budayanya, mulai dari tari-tarian, lagu, bahasa, sistem pembayaran mas kawin dan upacara perkawinan, upacara pergantian kepala suku, hingga upacara kematian. Kali ini kami akan mengangkat beberapa budaya yang ada di Doromena yaitu sistem pembayaran mas kawin dan upacara perkawinan, upacara pergantian kepala suku, serta upacara kematian.
1.      Upacara Pembayaran Mas Kawin dan Perkawinan
Tim Pengambilan Data (KKL-PBS-BE-Uncen, 2013
            Terdapat 10 marga besar di kampung yang terletak di pesisir pantai ini. Mereka adalah Sosarai, Yanggrosray, Mentanway, Doyoway, Apasray, Jawaitouw, Abisay, Ovide, Indey, dan Yarosray. Dalam kesepuluh marga besar ini, saat ini sudah mulai berkembang marga-marga kecil di dalamnya. Ke 10 marga ini mempunyai sistem pembayaran mas kawin dan perkawinan yang sama. Terdapat tiga (3) macam perkawinan dalam suku ini. Ketiga macam perkawinan ini akan dijelaskan di bawah ini.
a.       Perkawinan jenis pertama
Perkawinan jenis pertama ini atas dasar rasa suka sama suka dan atas persetujuan semua pihak. Setelah anak laki-laki dari satu keluarga di suku ini memberitahukan orang tuanya, orang tua dari pihak laki-laki bersama pesuruh “yaro” pergi ke rumah pihak perempuan dan memberitahu orang tua pihak perempuan kalau anak laki-laki mereka tertarik dengan anak perempuan mereka. Kemudian orang tua pihak perempuan akan bertanya kepada si perempuan apakah dia mau atau tidak.
 Pada hari pertama keluarga dari pihak lelaki akan datang ke rumah perempuan dan memintanya secara terhormat dengan cara melakukan pembayaran uang susu dan pembayaran mas kawin berupa satu (1) buah tomako batu dan manik-manik. Dalam hal ini manik-manik yang digunakan adalah manik-manik yang berwarna biru, hijau, dan kuning. Dulu yang digunakan sebagai alat pembayaran mas kawin adalah berupa harta karena belum ada uang kertas seperti saat ini.
Setelah proses pembayaran uang susu selesai, keluarga dari pihak perempuan akan pergi ke kebun untuk menebang sagu hingga 5-10 karung (dulu tumang) serta memanen hasil kebun seperti pisang, keladi, dan lainnya yang kemudian akan dibawa kepada keluarga pihak laki-laki. Hal yang berbeda dari sistem perkawinan dalam suku ini adalah keluarga dari pihak perempuanlah yang harus menyiapkan makanan. Hasil panen itu dibawa oleh yaro dari pihak perempuan beserta sebuah perjanjian yang sudah ditulis di selembar kertas putih yang berisikan berapa besar pihak laki-laki harus membayar anak perempuan mereka.
Setelah itu keluarga dari pihak laki-laki akan memasak sebagian sagu dan hasil kebun yang dibawa oleh pihak perempuan. Kemudian mereka mengundang keluarga dari marga mereka untuk makan bersama sekaligus membicarakan tentang perkawinan yang akan diadakan oleh anak mereka dan juga mas kawin yang diminta dari pihak perempuan. Keluarga dari pihak laki-laki tersebutlah yang akan membantu untuk mengumpulkan mas kawin yang diminta oleh pihak perempuan misalnya 12 tomako batu dan beberapa manik-manik.
Kemudian, setelah keluarga pihak perempuan merasa cukup dengan mas kawin yang telah dibawa oleh pihak laki-laki, kedua keluarga akan bertemu bersama dan membicarakan tentang kapan waktu akan diselenggarakannya upacara perkawinan anak mereka. Setelah mendapatkan waktu yang telah disepakati, keluarga dari pihak perempuan akan menebang sagu dan membuat para-para besar di depan rumah mereka. Sagu sekitar 50 keranjang, babi 1 ekor, dan hasil kebun.
Saat sore tiba, keluarga pihak laki-laki akan berdansa di depan rumah ondoafi lengkap dengan pakaian adat mereka. Mereka juga membawa manik-manik nomor 1 bersama mereka. Kemudian keesokan paginya, mereka akan memberikan manik-manik nomor 1 itu kepada ondoafi. Hal ini berarti tak ada lagi yang akan membicarakan atau tidak setuju dengan perkawinan yang akan diselenggarakan. Setelah itu mereka melanjutkan pesta dansa. Beberapa hari kemudian 1 ekor babi yg sudah mati yang tadinya masih berada di rumah pihak perempuan dibawa ke rumah pihak laki-laki beserta si perempuan dan sagu sekitar 10 keranjang. Setelah sampai di depan rumah pihak laki-laki mereka lalu bernyanyi (o…timaniwa tiwai te…moto-moto…) sambil mengangkat babi. Setelah itu babi tersebut diarahkan masuk melalui pintu rumah dan kemudian ditikam menggunakan pisau atau tombak oleh pesuruh atau yaro mereka. Saat darah babi tumpah di rumah pihak laki-laki, itu tandanya si perempuan sudah mempunyai hak untuk berbicara di keluarga tersebut. Namun, perempuan tak boleh bicara tidak sopan terhadap ondoafi. Jika hal ini terjadi, maka istri ondoafi akan memberikannya sanksi. Sanksinya berupa babi atau kasuari.
Keesokan paginya, pesuruh naik ke atas para-para lalu mulai menyanyi (a… tinta waja…. Aa tinta waja o…) diiringi dengan tifa oleh beberapa orang di depan para-para. Kemudian si pesuruh mulai menggali sagu yang di tengah dan digenggam lalu dia berkata “man wali, metertong kelewenatena…”yang artinya jangan ada hal buruk yang terjadi, semuanya diserahkan kepada Tuhan. Lalu dia menghamburkan sagu itu keatas tempat yang digunakan dansa. Setelah itu semua bahan makanan bisa dimasak dan siapapun bisa makan.
Sagu dan hasil kebun yang disediakan keluarga pihak perempuan akan dibagikan kepada keluarga pihak laki-laki yang telah membantu dalam memenuhi mas kawin yang diminta pihak perempuan. Semakin banyak mas kawin yang diberikan dari keluarga tersebut, maka semakin banyak pula hasil kebun yang mereka dapatkan. Dan berakhirlah seluruh acara adat perkawinannya.

b.      Perkawinan jenis kedua
Perkawinan jenis ini sedikit berbeda dengan perkawinan jenis pertama. Jika pada perkawinan jenis sebelumnya didasarkan pada rasa suka sama suka dari kedua belah pihak, perkawinan jenis ini hanya didasarkan rasa suka dari satu pihak yaitu laki-laki. Seorang laki-laki menyukai seorang perempuan dari sukunya, akan tetapi si perempuan tidak menyukai lelaki tersebut. Kemudian lelaki tersebut memberitahukan perasaannya kepada orang tuanya dengan maksud agar orang tuanya mau membantunya mencari cara agar bisa menikahi perempuan tersebut. Orang tua dari pihak lelaki memberitahukan hal ini kepada orang tua pihak perempuan dan ternyata orang tua perempuan setuju jika lelaki itu menikahi anak mereka. Kemudian lelaki dan orang tuanya beserta orang tua dari pihak perempuan mengatur rencana untuk menjebak si perempuan dan menangkapnya yang dalam bahasa Doromena disebut ”yuka-yuka / asra”. Mereka bisa saja meminta seorang teman wanita si perempuan untuk menemani dia tidur. Saat fajar akan tiba, teman perempuannya akan mengajak dia keluar. Tanpa sepengetahuannya, si laki-laki sudah bersembunyi di kolong depan rumah, sehingga begitu mereka keluar laki-laki bisa menangkap si perempuan. Si perempuanpun di beri mantra-mantra untuk membujuknya agar mau dinikahi oleh lelaki tersebut. Perempuan akan dibiarkan sendiri dalam waktu beberapa hari hingga perempuan itu berubah pikiran dan mau menikah dengan pria tersebut. Proses pembayaran mas kawin dan perkawinannyapun sama dengan perkawinan jenis pertama.

c.       Perkawinan jenis ketiga
                Pada dasarnya, perkawinan jenis ini sama uniknya dengan perkawinan jenis kedua sebelumnya. Tetapi bedanya, perkawinan jenis ini terjadi dikarenakan cinta sepasang anak muda ini tidak direstui oleh keluarga dari kedua belah pihak. Meskipun tidak merestui tapi keluarga anak laki-laki datang melamar atau meminta anak perempuan kepada keluarganya, tetapi ternyata keluarga anak perempuan yang dimaksud menolak lamaran atau pinangan dari pihak laki-laki. Jika pihak laki-laki tetap berusaha ingin anak mereka mempersunting anak perempuan yang dimaksud, maka mereka harus mempersiapkan segala jenis mas kawin dengan jumlah yang fantastis. Misalkan saja untuk pernikahan biasa, standarnya paling tidak membutuhkan satu buah tomako batu dan manik-manik. Harga satu buah tomako batu di pasaran paling murah sekitar lima juta rupiah. Sedangkan dalam pernikahan jenis ini, jumlah tomako batu yang harus disiapkan biasa berjumlah 5, 6, 7, bahkan 12 buah. Bayangkan saja berapa banyak uang yang harus dikeluarkan hanya untuk mengambil hati calon mempelai perempuan yang dimaksudkan.
            Namun sayangnya dalam pernikahan jenis ini, segala usaha pihak lelaki ternyata tidak membuahkan hasil. Keluarga pihak perempuan tetap menolak lamaran tersebut. Akhirnya, tanpa pikir panjang karena sudah sama-sama terlanjur cinta, anak laki-laki nekat membawa pergi anak perempuan tanpa sepengetahuan pihak keluarga baik keluarga pihak laki-laki sendiri maupun keluarga pihak perempuan. Karena sangat marah dan panik, keluarga pihak perempuan menuduh keluarga pihak laki-laki telah membawa lari anak mereka. Maka terjadilah peperangan antar kedua belah pihak. Karena tidak tega melihat peperangan yang terus terjadi antara keluarga mereka, akhirnya anak laki-laki muncul dan mengakui kalau dia telah membawa lari anak perempuan yang sangat dia cintai. Mereka merasa mereka sudah tidak bisa lagi untuk dipisahkan dan memohon untuk segera dinikahkan.
Mendengar penjelasan tersebut, keluarga kedua belah pihak mulai menyadari kesalahannya. Tidak ada gunanya mereka terus berperang sementara kedua anak mereka sama-sama saling mencintai dan tidak bisa lagi untuk dipisahkan. Akhirnya kedua keluarga yang tadinya berperang mereka saling meminta maaf dan mengizinkan kedua anak itu untuk menikah. Tetapi dengan catatan meskipun saling mencintai, anak laki-laki tetap dianggap bersalah karena sudah membawa lari anak perempuan tanpa izin keluarganya. Untuk itu, keluarga anak laki-laki akan membuat kebun yang sangat besar kemudian kebun itu ditanami dengan umbi-umbian seperti betatas, keladi, dan singkong. Semua hasil panen akan diserahkan kepada keluarga pihak perempuan sebagai tanda permintaan maaf sekaligus tanda jadi diterimanya lamaran mereka yang disertai dengan acara makan bersama.
            Adapun pakaian adat yang digunakan saat adat perkawinan yaitu kme ataupun maro. Tidak ada perbedaan pakaian adat yang digunakan masyarakat biasa ataupun ondoafi.  Sedangkan burung-burung yang digunakan sebagai hiasan kepala disebut awe pie, seperti misalnya burung yakop, tawun-tawun (awe depari), mambruk dll. Mempelai perempuan harus menggunakan hiasan kepala kemudian ikut berdansa. Burung kuning atau cenderawasih (awe tiai=mahkota besar) yang digunakan sebagai hiasan kepala hanya boleh digunakan oleh ondoafi atau yarisye(ondoafi yang belum dilantik). Perkawinan tidak boleh dilakukan dengan marga yang sama.
            Perkawinan antara ondoafi dan masyarakat biasapun jelas berbeda. Pada saat ondoafi berencana untuk menikah, seluruh masyarakat akan bekerja sama untuk membuat kebun sampai memanennya. Setelah itu barulah pesta perkawinan baru bisa dilaksanakan. Ondoafi akan membuat pesta besar-besaran. Jika pada masayarakat biasa hanya ada 1 ekor babi, maka pada perta perkawinan seorang ondoafi ada sekitar 3-4 ekor babi. Undanganpun disebar hingga ke kampung-kampung tetangga seperti kampung Upase, Yepase, Wambena dan para tamu akan pulang dengan buah tangan.
            Perkawinan seorang masyarakat biasa harus sederhana. Perkawinannya tidak boleh melebihi perkawinan ondoafi. Jika hal ini terjadi maka orang tersebut akan diberikan mantra ataupun dibunuh. Ondofi akan menyuruh seseorang dari kampung lain untuk membunuhnya.

            Mas kawin untuk seorang anak perempuan ondoafipun jelas lebih mahal. Jika anak masyarakat biasa dibayar dengan 1 atau 2 buah tomako batu maka anak perempuan seorang ondoafi biasa dibayar dengan 20 buah tomako batu. Tomako batu ini bisa didapatkan di kaki gunung. Sayangnya sekarang ini sudah banyak tomako batu palsu yang beredar.                                                                                                                          

No comments: