Foto bersama Mahasiswa/i KKL Uncen PBS-BE Angkatan 2010 dengan siswa/i SD-SMP satu atap Doromena |
Kampung
Doromena merupakan salah satu kampung yang terletak di distrik Depapre. Kampung
yang terletak di ujung Timur Jayapura ini begitu kaya akan hasil alam dan
pesona alamnya. Tak hanya itu, kampung ini pun kaya akan budayanya, mulai dari
tari-tarian, lagu, bahasa, sistem pembayaran mas kawin dan upacara perkawinan,
upacara pergantian kepala suku, hingga upacara kematian. Kali ini kami akan
mengangkat beberapa budaya yang ada di Doromena yaitu sistem pembayaran mas
kawin dan upacara perkawinan, upacara pergantian kepala suku, serta upacara
kematian.
1.
Upacara
Pembayaran Mas Kawin dan Perkawinan
Tim Pengambilan Data (KKL-PBS-BE-Uncen, 2013 |
Terdapat
10 marga besar di kampung yang terletak di pesisir pantai ini. Mereka adalah
Sosarai, Yanggrosray, Mentanway, Doyoway, Apasray, Jawaitouw, Abisay, Ovide,
Indey, dan Yarosray. Dalam kesepuluh marga besar ini, saat ini sudah mulai
berkembang marga-marga kecil di dalamnya. Ke 10 marga ini mempunyai sistem
pembayaran mas kawin dan perkawinan yang sama. Terdapat tiga (3) macam
perkawinan dalam suku ini. Ketiga macam perkawinan ini akan dijelaskan di bawah
ini.
a. Perkawinan
jenis pertama
Perkawinan jenis pertama ini atas dasar rasa suka sama
suka dan atas persetujuan semua pihak. Setelah anak laki-laki dari satu
keluarga di suku ini memberitahukan orang tuanya, orang tua dari pihak
laki-laki bersama pesuruh “yaro”
pergi ke rumah pihak perempuan dan memberitahu orang tua pihak perempuan kalau
anak laki-laki mereka tertarik dengan anak perempuan mereka. Kemudian orang tua
pihak perempuan akan bertanya kepada si perempuan apakah dia mau atau tidak.
Pada hari
pertama keluarga dari pihak lelaki akan datang ke rumah perempuan dan
memintanya secara terhormat dengan cara melakukan pembayaran uang susu dan
pembayaran mas kawin berupa satu (1) buah tomako batu dan manik-manik. Dalam
hal ini manik-manik yang digunakan adalah manik-manik yang berwarna biru,
hijau, dan kuning. Dulu yang digunakan sebagai alat pembayaran mas kawin adalah
berupa harta karena belum ada uang kertas seperti saat ini.
Setelah proses pembayaran uang susu selesai, keluarga
dari pihak perempuan akan pergi ke kebun untuk menebang sagu hingga 5-10 karung
(dulu tumang) serta memanen hasil kebun seperti pisang, keladi, dan lainnya
yang kemudian akan dibawa kepada keluarga pihak laki-laki. Hal yang berbeda
dari sistem perkawinan dalam suku ini adalah keluarga dari pihak perempuanlah
yang harus menyiapkan makanan. Hasil panen itu dibawa oleh yaro dari pihak perempuan beserta sebuah perjanjian yang sudah
ditulis di selembar kertas putih yang berisikan berapa besar pihak laki-laki harus
membayar anak perempuan mereka.
Setelah itu keluarga dari pihak laki-laki akan memasak
sebagian sagu dan hasil kebun yang dibawa oleh pihak perempuan. Kemudian mereka
mengundang keluarga dari marga mereka untuk makan bersama sekaligus
membicarakan tentang perkawinan yang akan diadakan oleh anak mereka dan juga
mas kawin yang diminta dari pihak perempuan. Keluarga dari pihak laki-laki
tersebutlah yang akan membantu untuk mengumpulkan mas kawin yang diminta oleh
pihak perempuan misalnya 12 tomako batu dan beberapa manik-manik.
Kemudian, setelah keluarga pihak perempuan merasa
cukup dengan mas kawin yang telah dibawa oleh pihak laki-laki, kedua keluarga
akan bertemu bersama dan membicarakan tentang kapan waktu akan
diselenggarakannya upacara perkawinan anak mereka. Setelah mendapatkan waktu
yang telah disepakati, keluarga dari pihak perempuan akan menebang sagu dan
membuat para-para besar di depan rumah mereka. Sagu sekitar 50 keranjang, babi
1 ekor, dan hasil kebun.
Saat sore tiba, keluarga pihak laki-laki akan berdansa
di depan rumah ondoafi lengkap dengan pakaian adat mereka. Mereka juga membawa
manik-manik nomor 1 bersama mereka. Kemudian keesokan paginya, mereka akan
memberikan manik-manik nomor 1 itu kepada ondoafi. Hal ini berarti tak ada lagi
yang akan membicarakan atau tidak setuju dengan perkawinan yang akan
diselenggarakan. Setelah itu mereka melanjutkan pesta dansa. Beberapa hari
kemudian 1 ekor babi yg sudah mati yang tadinya masih berada di rumah pihak
perempuan dibawa ke rumah pihak laki-laki beserta si perempuan dan sagu sekitar
10 keranjang. Setelah sampai di depan rumah pihak laki-laki mereka lalu
bernyanyi (o…timaniwa tiwai te…moto-moto…)
sambil mengangkat babi. Setelah itu babi tersebut diarahkan masuk melalui
pintu rumah dan kemudian ditikam menggunakan pisau atau tombak oleh pesuruh
atau yaro mereka. Saat darah babi
tumpah di rumah pihak laki-laki, itu tandanya si perempuan sudah mempunyai hak
untuk berbicara di keluarga tersebut. Namun, perempuan tak boleh bicara tidak
sopan terhadap ondoafi. Jika hal ini terjadi, maka istri ondoafi akan
memberikannya sanksi. Sanksinya berupa babi atau kasuari.
Keesokan paginya, pesuruh naik ke atas para-para lalu
mulai menyanyi (a… tinta waja…. Aa tinta waja o…) diiringi dengan tifa oleh
beberapa orang di depan para-para. Kemudian si pesuruh mulai menggali sagu yang
di tengah dan digenggam lalu dia berkata “man wali, metertong
kelewenatena…”yang artinya jangan ada hal buruk yang terjadi, semuanya
diserahkan kepada Tuhan. Lalu dia menghamburkan sagu itu keatas tempat yang
digunakan dansa. Setelah itu semua bahan makanan bisa dimasak dan siapapun bisa
makan.
Sagu dan hasil kebun yang disediakan keluarga pihak
perempuan akan dibagikan kepada keluarga pihak laki-laki yang telah membantu
dalam memenuhi mas kawin yang diminta pihak perempuan. Semakin banyak mas kawin
yang diberikan dari keluarga tersebut, maka semakin banyak pula hasil kebun
yang mereka dapatkan. Dan berakhirlah seluruh acara adat perkawinannya.
b. Perkawinan
jenis kedua
Perkawinan jenis ini sedikit berbeda dengan perkawinan
jenis pertama. Jika pada perkawinan jenis sebelumnya didasarkan pada rasa suka
sama suka dari kedua belah pihak, perkawinan jenis ini hanya didasarkan rasa
suka dari satu pihak yaitu laki-laki. Seorang laki-laki menyukai seorang
perempuan dari sukunya, akan tetapi si perempuan tidak menyukai lelaki
tersebut. Kemudian lelaki tersebut memberitahukan perasaannya kepada orang
tuanya dengan maksud agar orang tuanya mau membantunya mencari cara agar bisa
menikahi perempuan tersebut. Orang tua dari pihak lelaki memberitahukan hal ini
kepada orang tua pihak perempuan dan ternyata orang tua perempuan setuju jika
lelaki itu menikahi anak mereka. Kemudian lelaki dan orang tuanya beserta orang
tua dari pihak perempuan mengatur rencana untuk menjebak si perempuan dan
menangkapnya yang dalam bahasa Doromena disebut ”yuka-yuka / asra”. Mereka bisa saja meminta seorang teman wanita
si perempuan untuk menemani dia tidur. Saat fajar akan tiba, teman perempuannya
akan mengajak dia keluar. Tanpa sepengetahuannya, si laki-laki sudah
bersembunyi di kolong depan rumah, sehingga begitu mereka keluar laki-laki bisa
menangkap si perempuan. Si perempuanpun di beri mantra-mantra untuk membujuknya
agar mau dinikahi oleh lelaki tersebut. Perempuan akan dibiarkan sendiri dalam
waktu beberapa hari hingga perempuan itu berubah pikiran dan mau menikah dengan
pria tersebut. Proses pembayaran mas kawin dan perkawinannyapun sama dengan
perkawinan jenis pertama.
c. Perkawinan
jenis ketiga
Pada dasarnya, perkawinan
jenis ini sama uniknya dengan perkawinan jenis kedua sebelumnya. Tetapi
bedanya, perkawinan jenis ini terjadi dikarenakan cinta sepasang anak muda ini
tidak direstui oleh keluarga dari kedua belah pihak. Meskipun tidak merestui
tapi keluarga anak laki-laki datang melamar atau meminta anak perempuan kepada
keluarganya, tetapi ternyata keluarga anak perempuan yang dimaksud menolak
lamaran atau pinangan dari pihak laki-laki. Jika pihak laki-laki tetap berusaha
ingin anak mereka mempersunting anak perempuan yang dimaksud, maka mereka harus
mempersiapkan segala jenis mas kawin dengan jumlah yang fantastis. Misalkan
saja untuk pernikahan biasa, standarnya paling tidak membutuhkan satu buah
tomako batu dan manik-manik. Harga satu buah tomako batu di pasaran paling
murah sekitar lima juta rupiah. Sedangkan dalam pernikahan jenis ini, jumlah
tomako batu yang harus disiapkan biasa berjumlah 5, 6, 7, bahkan 12 buah.
Bayangkan saja berapa banyak uang yang harus dikeluarkan hanya untuk mengambil
hati calon mempelai perempuan yang dimaksudkan.
Namun sayangnya dalam pernikahan
jenis ini, segala usaha pihak lelaki ternyata tidak membuahkan hasil. Keluarga
pihak perempuan tetap menolak lamaran tersebut. Akhirnya, tanpa pikir panjang
karena sudah sama-sama terlanjur cinta, anak laki-laki nekat membawa pergi anak
perempuan tanpa sepengetahuan pihak keluarga baik keluarga pihak laki-laki sendiri
maupun keluarga pihak perempuan. Karena sangat marah dan panik, keluarga pihak
perempuan menuduh keluarga pihak laki-laki telah membawa lari anak mereka. Maka
terjadilah peperangan antar kedua belah pihak. Karena tidak tega melihat
peperangan yang terus terjadi antara keluarga mereka, akhirnya anak laki-laki
muncul dan mengakui kalau dia telah membawa lari anak perempuan yang sangat dia
cintai. Mereka merasa mereka sudah tidak bisa lagi untuk dipisahkan dan memohon
untuk segera dinikahkan.
Mendengar
penjelasan tersebut, keluarga kedua belah pihak mulai menyadari kesalahannya.
Tidak ada gunanya mereka terus berperang sementara kedua anak mereka sama-sama
saling mencintai dan tidak bisa lagi untuk dipisahkan. Akhirnya kedua keluarga
yang tadinya berperang mereka saling meminta maaf dan mengizinkan kedua anak
itu untuk menikah. Tetapi dengan catatan meskipun saling mencintai, anak
laki-laki tetap dianggap bersalah karena sudah membawa lari anak perempuan
tanpa izin keluarganya. Untuk itu, keluarga anak laki-laki akan membuat kebun
yang sangat besar kemudian kebun itu ditanami dengan umbi-umbian seperti
betatas, keladi, dan singkong. Semua hasil panen akan diserahkan kepada
keluarga pihak perempuan sebagai tanda permintaan maaf sekaligus tanda jadi
diterimanya lamaran mereka yang disertai dengan acara makan bersama.
Adapun pakaian adat yang digunakan
saat adat perkawinan yaitu kme ataupun
maro. Tidak ada perbedaan pakaian
adat yang digunakan masyarakat biasa ataupun ondoafi. Sedangkan burung-burung yang digunakan
sebagai hiasan kepala disebut awe pie,
seperti misalnya burung yakop, tawun-tawun (awe
depari), mambruk dll. Mempelai perempuan harus menggunakan hiasan kepala
kemudian ikut berdansa. Burung kuning atau cenderawasih (awe tiai=mahkota besar) yang
digunakan sebagai hiasan kepala hanya boleh digunakan oleh ondoafi atau yarisye(ondoafi yang belum dilantik).
Perkawinan tidak boleh dilakukan dengan marga yang sama.
Perkawinan
antara ondoafi dan masyarakat biasapun jelas berbeda. Pada saat ondoafi berencana
untuk menikah, seluruh masyarakat akan bekerja sama untuk membuat kebun sampai
memanennya. Setelah itu barulah pesta perkawinan baru bisa dilaksanakan.
Ondoafi akan membuat pesta besar-besaran. Jika pada masayarakat biasa hanya ada
1 ekor babi, maka pada perta perkawinan seorang ondoafi ada sekitar 3-4 ekor
babi. Undanganpun disebar hingga ke kampung-kampung tetangga seperti kampung
Upase, Yepase, Wambena dan para tamu akan pulang dengan buah tangan.
Perkawinan seorang masyarakat biasa
harus sederhana. Perkawinannya tidak boleh melebihi perkawinan ondoafi. Jika
hal ini terjadi maka orang tersebut akan diberikan mantra ataupun dibunuh.
Ondofi akan menyuruh seseorang dari kampung lain untuk membunuhnya.
Mas kawin untuk seorang anak perempuan
ondoafipun jelas lebih mahal. Jika anak masyarakat biasa dibayar dengan 1 atau
2 buah tomako batu maka anak perempuan seorang ondoafi biasa dibayar dengan 20
buah tomako batu. Tomako batu ini bisa didapatkan di kaki gunung. Sayangnya
sekarang ini sudah banyak tomako batu palsu yang beredar.
No comments:
Post a Comment